Imposter Syndrome: LinkedIn vs Social Media

October 29, 2025 (2w ago)

LinkedIn dan CV: Kesan Pertama yang Menentukan

Secara ideal, HRD seharusnya bisa melihat potensi di balik CV yang kurang rapi. Tapi dalam praktiknya, mereka punya keterbatasan waktu dan sumber daya (To Be Honest ajalah ya, weakness/kelemahan). Maka, kandidat perlu bantu diri sendiri:

  • CV yang rapi dan jelas
  • Nama file profesional (Yogi_Arif_CV_Android.pdf)
  • Email lamaran yang sopan dan ringkas, seperti gaya Kotlin yang concise

Ini bukan sekadar formalitas, tapi life hack untuk lolos dari seleksi awal yang padat.

“There are a few acceptable naming conventions to choose from: FirstName_LastName_JobTitle.pdf or FirstName-LastName-JobTitle.pdf.” — Jobscan Blog

“Your resume file name is the first touch point for your potential employer. Make it stand out in a crowd.” — Deepti Sharma, HR Consultant, Indeed Career Advice [indeed.com]

“A clear name instantly tells the reader ‘who’ and ‘what’ they’re opening, while a vague one (e.g., Document1.pdf) broadcasts disorganisation.” — Resumonk Articles [resumonk.com]

Hiring: Antara Jadwal dan Suasana

Kesan pertama juga dipengaruhi oleh:

  • Prioritas jadwal HR/user
  • Suasana interview: bisa 80% lancar di area tenang, atau 20% chaos di area noise

Kadang, ketemu HR yang langsung klop itu butuh keberuntungan setara McLaren 😅

LinkedIn: Pusat Pencapaian, Pemicu Perbandingan

Fakta pahitnya: hampir semua lowongan kerja ada di LinkedIn. Tapi menurut penelitian, LinkedIn juga jadi pemicu imposter syndrome yang lebih kuat dibanding media sosial lain.

“Professional SNS usage heightens professional self-focused attention, triggering imposter thoughts.” — Marder et al., Psychology & Marketing1

HRD pun Rentan Imposter Syndrome

HRD dan profesional yang sangat peduli terhadap identitas kerja lebih rentan mengalami imposter syndrome. Mereka sering merasa:

  • Harus jadi ahli di semua bidang (generalist dilemma)
  • Harus terus membuktikan nilai strategisnya (proof pressure)
  • Berada di spotlight yang memicu self-doubt

“HR professionals operate in the spotlight. Every decision impacts the employee experience and organizational performance. This constant visibility can amplify self-doubt.” — Reanette Etzler, LinkedIn Pulse2

Siklus Perbandingan di LinkedIn

LinkedIn mendorong kita untuk membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Ini bisa memicu:

  • Perasaan tidak cukup kompeten
  • Kebutuhan validasi berlebihan
  • Overwork dan burnout

    “Even passively using LinkedIn can trigger imposter thoughts and negative emotions.” — Psychology Today3

Penutup: Satukan Skill, Bukan Bandingkan

Kadang kita lihat HR posting:

“Skill kandidat bagus, tapi CV-nya berantakan.”

Lalu HR lain posting:

“CV-nya bagus, tapi skill-nya kurang.”

HR atau lead idaman adalah yang bisa menyatukan dua sisi itu. Karena pada akhirnya, semua orang punya skill dan kelemahan. Yang penting: saling bantu, bukan saling bandingkan. tapi ini bukan tentang SKILL atau CV.

context lain bisa menerapkan